Rangkumnews.com – Sejak disahkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), paradigma pembangunan desa di Indonesia telah bergeser drastis. Desa tidak lagi sekadar menjadi objek administratif, melainkan subjek hukum yang memiliki otonomi asli berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 UU Desa. Namun, muncul sebuah ketegangan dialektis: Bagaimana mengejar kemajuan ekonomi tanpa menggerus identitas hukum adat?
Politik hukum harus hadir sebagai jembatan. Strategi ke depan harus menyintesiskan “kemajuan” dengan “keadatan” dengan landasan yuridis yang kokoh.
1. Pergeseran dari Positivisme ke Pluralisme Hukum
Dahulu, negara cenderung memaksakan keseragaman. Strategi masa depan harus memperkuat amanat konstitusi. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Dalam konteks desa, politik hukum harus menerjemahkan Pasal 1 angka 1 UU Desa yang mengakui “hak asal usul”. Artinya, hukum negara tidak boleh mematikan hukum adat, tetapi memberikan ruang bagi legal pluralism. Kemajuan desa harus dibangun di atas struktur asli masyarakat tersebut, bukan dengan mengganti struktur adat dengan struktur dinas yang asing.
2. Adat Sebagai Modal Sosial dan Ekonomi
Narasi pembangunan seringkali membenturkan adat dengan investasi. Padahal, secara hukum, adat adalah modal sosial. Hal ini sejalan dengan Pasal 87 UU Desa mengenai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang mengamanatkan pengelolaan usaha desa dengan semangat “kekeluargaan dan kegotongroyongan”.
Politik hukum harus memastikan bahwa BUMDes tidak menjadi entitas kapitalis murni yang mencabut akar sosial warga. Regulasi harus memfasilitasi praktik ekonomi berbasis komunitas (communal property) agar memiliki legalitas (badan hukum) tanpa kehilangan nilai adatnya.
3. Restorative Justice Berbasis Kearifan Lokal
Indikator kemajuan desa bukan hanya infrastruktur, tapi juga harmoni sosial. Politik hukum harus mengembalikan wewenang penyelesaian sengketa ke desa. Hal ini didukung oleh Pasal 103 huruf d dan e UU Desa (khusus Desa Adat) yang memberikan kewenangan penyelenggaraan sidang perdamaian adat dan pemeliharaan ketenteraman berdasarkan hukum adat.
Bahkan untuk Desa non-adat, Pasal 26 ayat (4) huruf k UU Desa mewajibkan Kepala Desa untuk menyelesaikan perselisihan masyarakat. Negara harus memperkuat legitimasi putusan musyawarah adat sebagai bentuk Restorative Justice, sehingga sengketa ringan selesai di desa dan tidak menumpuk di kepolisian (asas ultimum remedium).
4. Proteksi Agraria dan Ekologi
Kemajuan ekonomi desa sering kali mengancam tanah ulayat. Politik hukum desa harus kembali pada jiwa Pasal 3 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960), yang mengakui hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada.
Selain itu, Pasal 76 UU Desa menekankan perlindungan terhadap aset desa dan kekayaan milik desa. Peraturan Desa (Perdes) harus didorong menjadi instrumen defensif untuk melindungi ruang hidup dan tanah adat dari alih fungsi lahan yang masif. Strategi hukumnya adalah percepatan penetapan Hutan Adat dan wilayah kelola rakyat melalui Skema Perhutanan Sosial yang diakui negara.
*KESIMPULAN*
Strategi politik hukum terhadap desa tidak boleh terjebak pada dikotomi “Modern vs Tradisional”. Tujuannya adalah menciptakan Desa Modern yang Berkarakter.
Hukum harus menjalankan fungsi ganda: Fungsi Fasilitatif untuk membuka akses teknologi dan modal, serta Fungsi Protektif untuk melindungi hak asal-usul dan tanah adat sesuai mandat konstitusi. Jika integrasi antara UU Desa, UUPA, dan UUD 1945 ini dijalankan konsisten, desa akan menjadi entitas yang mandiri secara ekonomi namun tetap berdaulat secara budaya. (Mufni Maulid, S.H).
(red)
