Oleh : Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M (Dosen Hukum Internasional Universitas Jambi & Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) Prov. Jambi)
Rangkumnews.com – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) baru saja mengeluarkan putusan penting yang mengubah lanskap pemilu nasional. Melalui putusan tersebut, MK memutuskan bahwa pelaksanaan pemilu nasional (presiden DPR, dan DPD) dan pemilu lokal (pilkada dan DPRD) harus dipisahkan, tidak lagi dilakukan secara serentak.
Putusan ini tentu membawa implikasi teknis dan politis yang luas. Namun lebih dari itu, ia juga membuka ruang untuk meninjau ulang sistem pemilu Indonesia dalam perspektif hukum internasional: apakah pemisahan pemilu selaras dengan prinsip-prinsip internasional tentang demokrasi dan pemilu yang bebas dan adil?
Sejarah Dinamis Pemilu Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sistem pemilu mengalami berbagai perubahan. Dari pemilu langsung pada era Orde Lama, ke sistem daftar tertutup dan dominasi partai tunggal di era Orde Baru, hingga pemilu langsung multi-partai pada era Reformasi, bangsa ini terus bereksperimen dalam mencari sistem yang paling representatif dan stabil. Pemilu serentak yang diperkenalkan pada 2024 pun baru dijalankan satu kali sebelum kini kembali dipisah sesuai putusan MK.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemilu tidak bersifat statis. Ia bersifat dinamis, menyesuaikan dengan tantangan zaman dan kebutuhan demokrasi nasional. Namun, seberapa besar fleksibilitas ini dapat dijustifikasi dari kacamata hukum internasional?
Apakah Hukum Internasional Mengatur Sistem Pemilu?
Jawabannya: ya dan tidak. Jika kita mengacu pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, maka perjanjian internasional adalah salah satu sumber hukum internasional utama. Namun, hingga saat ini, tidak ada perjanjian internasional global yang secara eksplisit mengatur bagaimana sistem pemilu harus dijalankan oleh negara. Artinya, secara hard law, hukum internasional tidak menetapkan format pemilu yang harus digunakan negara—apakah itu proporsional, distrik, dua putaran, atau sistem campuran.
Namun bukan berarti hukum internasional absen dalam isu ini. Ada banyak prinsip dan standar yang berkembang dalam bentuk soft law, atau norma internasional yang meski tidak mengikat secara hukum, memiliki kekuatan moral dan politis yang sangat besar yang diakui sebagai pedoman pemilu demokratis. Misalnya:
• Article 25 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyatakan hak warga negara untuk memilih dan dipilih melalui pemilu yang “periodik, jujur, dan adil” berdasarkan hak pilih universal dan setara serta melalui pemungutan suara yang bebas dan rahasia.
• Universal Declaration on Democracy (1997) yang dirumuskan oleh Inter-Parliamentary Union, menggarisbawahi pentingnya pemilu yang inklusif, transparan, dan akuntabel.
• Kode Praktik tentang Pemilu yang Baik dari Komisi Venesia (Council of Europe) dan International IDEA, yang memberikan kerangka lima prinsip: pemilu universal, setara, bebas, rahasia, dan berkala.
Prinsip-prinsip inilah yang menjadi landasan dalam menilai apakah suatu sistem pemilu demokratis—bukan pada format teknisnya, tapi pada bagaimana prinsip tersebut diterapkan.
Perubahan paradigma pemilu
Satu hal penting yang perlu digarisbawahi adalah: tidak ada sistem pemilu tunggal yang ideal untuk semua negara. Sistem pemilu adalah hasil dari sejarah, budaya politik, serta struktur sosial ekonomi masing-masing negara. Yang lebih penting adalah apakah sistem tersebut memenuhi prinsip-prinsip demokrasi substantif: keterwakilan yang adil, inklusi politik, integritas pemilu, dan legitimasi hasil, karena, pemilu bukan sekadar soal teknis dan prosedural.
Di sinilah pentingnya memahami bahwa hak politik bukan tujuan akhir, melainkan titik awal untuk mewujudkan cita-cita konstitusional negara. Pemilu hanyalah sarana hukum dan politik, yang harus dirancang dan dijalankan secara progresif dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan nasional: masyarakat yang adil, makmur, bebas dari korupsi, menjunjung hukum, dan sejahtera.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, pernah mengingatkan dalam dokumen berjudul “Strengthening the Role of the United Nations in Enhancing the Effectiveness of the Principle of Periodic and Genuine Elections and the Promotion of Democratization” Disampaikan kepada: Sidang Majelis Umum PBB sesi ke-68 tahun 2013, bahwa keberhasilan pemilu secara prosedural atau formal saja tidaklah cukup. Tanpa pemenuhan nilai-nilai substantif seperti akuntabilitas, keadilan sosial, dan supremasi hukum, maka pemilu (apapun sistemnya) hanyalah rutinitas politik yang hampa.
Selain itu, pakar hukum internasional Guy Goodwin-Gill dalam pidatonya di Sidang Umum International Law Association (ILA) di Sydney, 2006, menegaskan bahwa fokus hukum internasional abad ke-21 telah bergeser.
Bila pada 1990-an penekanan utama adalah agar pemilu memenuhi standar internasional (misalnya Declaration on Criteria for Free and Fair Elections tahun 1994), kini sorotan utama adalah pada hasil dan dampak pemilu: apakah ia menghasilkan pemerintahan yang bebas dari korupsi, menjunjung supremasi hukum, menjamin pemenuhan hak sosial-ekonomi, serta memiliki struktur peradilan yang independen dan kekuasaan yang terpisah secara fungsional.
Dengan demikian, kualitas demokrasi elektoral tidak hanya diukur dari pemenuhan prosedur—seperti pemilihan langsung one man one vote atau sistem perwakilan, pemilu yang reguler dan melibatkan banyak pemilih—tetapi pada seberapa besar pemilu mampu melahirkan kepemimpinan dan kebijakan publik yang membawa perubahan nyata dan berkeadilan bagi rakyat.
Apakah Prinsip Internasional Sudah Diadopsi di Indonesia?
Jika kita melihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tampak bahwa sebagian besar prinsip internasional sudah terakomodasi. Misalnya, hak pilih universal, jaminan pemilu berkala, kebebasan kampanye, dan independensi penyelenggara pemilu.
Namun dalam praktik, implementasinya masih menghadapi tantangan serius, seperti: politik uang, keterbatasan akses informasi, manipulasi daftar pemilih, intimidasi pemilih, lemahnya penegakan hukum pemilu hingga netralitas birokrasi. Ini adalah aspek-aspek yang justru sangat ditekankan oleh hukum internasional sebagai bagian dari substansi demokrasi.
Dalam konteks ini, tantangan terbesar bukan pada apakah sistemnya serentak atau terpisah, tetapi pada kualitas pelaksanaannya. Hukum internasional menggarisbawahi bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi juga substansi—dan substansi itu hanya dapat dicapai jika prinsip-prinsip internasional diterapkan secara konsisten dan akuntabel.
Penutup : Demokrasi Butuh Prinsip, Bukan Sekadar Format
Putusan MK seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan hanya dalam aspek teknis pemilu, tetapi dalam konteks kualitas demokrasi secara menyeluruh. Kita tidak sedang membahas mana yang lebih baik: pemilu serentak atau terpisah. Tapi kita perlu bertanya: apakah sistem yang kita pilih menjamin pemilu yang bebas, jujur, inklusif, dan adil seperti diamanatkan oleh prinsip-prinsip internasional?
Di sinilah hukum nasional dan hukum internasional saling melengkapi. Hukum internasional menyediakan rambu-rambu moral dan prinsipil, sementara hukum nasional mewujudkannya dalam bentuk kelembagaan dan praktik. Saat prinsip-prinsip itu diterapkan secara konsisten, maka apa pun bentuk sistem pemilu yang kita pilih, demokrasi akan melahirkan kepemimpinan yang sah dan berintegritas.
Dengan kata lain, hukum internasional bukan mengatur “format”-nya, melainkan roh dan integritas dari prosesnya. Putusan MK menjadi pengingat bahwa perubahan hukum harus selalu diuji dari sisi substansi: Apakah ia mendorong lahirnya pemimpin yang berkualitas? Jika jawabannya ya, maka apa pun sistemnya, demokrasi kita tetap berada di jalur yang benar.
Namun jika tidak, maka pemilu hanya menjadi rutinitas prosedural tanpa makna. Ia kehilangan daya transformatifnya. Yang lahir bukanlah pemerintahan demokratis, melainkan legitimasi semu yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Demokrasi seperti itu tidak akan membawa kita pada kesejahteraan, keadilan, atau supremasi hukum—melainkan hanya pada kelelahan sosial dan kekecewaan rakyat. (red)