Keadilan Tak Bisa Ditimbang Pakai Kalkulator Politik

Opini86 Dilihat

Oleh : Retno Maria Palupi Dosen Hukum Tata Negara Institut Islam Muara Jambi dan Fungsional Umum Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu dan Hukum KPU Batang Hari

Rangkumnews.com – Dalam wawancara program Rakyat Bersuara bertajuk “Politik Rezim hingga Kongkalikong Hukum Dipertontonkan di Kasus Tom Lembong” yang tayang di iNews TV, publik dikejutkan oleh pernyataan Ketua Komisi Kejaksaan RI, Prof. Dr. Pujiono Suwadi, yang secara terbuka mengatakan bahwa Kejaksaan menghitung risiko politik sebelum memutuskan siapa yang akan diproses secara hukum terlebih dahulu.

“Ketika diusut semuanya, justru risiko ini yang kemudian dihitung oleh Kejaksaan… semuanya itu kan tokoh politik, punya pendukung. Kalau Tom Lembong… ya, risikonya ada, tetapi dalam hitungan itu, ya itu yang harus diambil… Itu bagian dari strategi penyidikan, Pak,” kata Pujiono saat berdialog dengan host Aiman Witjaksono.

Pernyataan ini bukan hanya problematis. Ia adalah alarm keras bahwa hukum tak lagi bekerja dalam kerangka negara hukum (rechtsstaat), tetapi mulai tunduk pada kalkulasi kekuasaan. Ketika risiko politik menjadi variabel utama, maka prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) berubah menjadi wacana kosong.
Di negara hukum yang sehat, hukum bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan. Ia tidak boleh dipengaruhi oleh opini publik, tekanan elite, atau hitung-hitungan politik. Justru karena hukum adalah pelindung keadilan, ia harus berani menindak siapa pun, bahkan mereka yang duduk di singgasana kekuasaan.

Namun yang kita dengar justru sebaliknya: Kejaksaan tidak memulai proses hukum terhadap semua pihak secara bersamaan karena mempertimbangkan “resiko politik”. Siapa yang dihukum lebih dulu ditentukan oleh siapa yang paling aman secara politik. Ini bukan lagi soal strategi penyidikan, ini sudah masuk wilayah manipulasi politik lewat hukum.
Yang lebih ironis, pembenaran atas praktik berbahaya ini datang dari Ketua Komisi Kejaksaan sendiri lembaga yang semestinya menjadi pengawas eksternal dan penjaga integritas kejaksaan. Bukannya mengkritik pendekatan tersebut, ia justru merasionalisasi bahwa strategi berbasis kalkulasi politik adalah wajar.

Jika pengawas sudah ikut menjustifikasi kekeliruan lembaga yang diawasi, maka sistem check and balance dalam penegakan hukum telah runtuh. Kita bukan hanya kehilangan kontrol eksternal, tapi juga kehilangan arah reformasi hukum itu sendiri.

Praktik ini bukan hanya menyimpang secara etik, tapi berbahaya secara sistemik. Bayangkan jika pola ini dilembagakan: Kejaksaan menjadi alat untuk menunda atau mempercepat proses hukum berdasarkan kepentingan politik, bukan berdasarkan alat bukti.
Apa jadinya negara jika hukum tidak lagi bertumpu pada asas kepastian dan keadilan, tetapi pada asas kenyamanan elite?
Jika kita ingin menjaga masa depan demokrasi dan hukum di Indonesia, maka pembiaran terhadap pernyataan dan praktik semacam ini harus dihentikan. Komisi Kejaksaan harus dikoreksi, Kejaksaan harus diawasi, dan publik harus bersuara.
Hukum harus kembali menjadi panglima, bukan alat pembenar kuasa. Keadilan tidak bisa ditimbang pakai kalkulator politik. Ia hanya bisa ditegakkan dengan keberanian, integritas, dan komitmen terhadap prinsip universal negara hukum. (red)