Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal : Harapan Baru atau Masalah Lama yang Berulang?

Opini47 Dilihat

Oleh : Dr. Pahrudin HM, M.A.
Analis Politik dan Kebijakan Universitas Nurdin Hamzah
Direktur Eksekutif Public Trust Institute (PUTIN)

Rangkumnews.com – Melalui putusannya pada tanggal 26 Juni 2025 yang memisahkan pemilu nasional dan lokal di Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat sejarah. Ini bukan sekadar perubahan jadwal dari perspektif konstitusi; tetapi ini juga merupakan transformasi yang signifikan dalam demokrasi elektoral yang telah kita lakukan sejak era reformasi. Bersamaan dengan itu, euforia dan pesimisme muncul, sehingga menimbulkan pertanyaan dasar : apakah keputusan ini benar-benar dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pemilu atau justru menciptakan masalah baru?
Berbagai pihak mengeluarkan kritik yang keras sejak Pemilu Serentak 2019. Proses pemilu yang terdiri dari lima kotak suara—mulai dari presiden, DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Provinsi, dan Dewan Kabupaten/Kota—dianggap membebani penyelenggara, membingungkan pemilih, dan menguras tenaga petugas penyelenggara. Kita tentu tidak bisa melupakan jumlah petugas KPPS yang meninggal karena kelelahan. Lebih dari 500 petugas meninggal dunia, dan ribuan lainnya jatuh sakit, berdasarkan data resmi yang dirilis KPU. Publik juga terkejut, dan desakan untuk mengubah desain pemilu semakin meningkat disuarakan.

Dalam keputusannya, MK menyimpulkan bahwa sistem pemilu serentak yang telah digunakan sejak UU Nomor 7 Tahun 2017 menimbulkan masalah besar, termasuk manajemen pemilu yang sangat rumit, logistik yang tidak stabil, dan kurangnya pengawasan. Sebagian orang percaya bahwa pemisahan pemilu dapat membuat rakyat lebih fokus, penyelenggara lebih siap, dan mengurangi risiko teknis.

Putusan MK ini cukup logis secara normatif. Pemilih tidak perlu mencoblos lima surat suara sekaligus ketika pemilu nasional dan lokal dipisahkan. Bayangkan seorang warga yang tinggal di daerah terpencil harus mengatasi puluhan calon legislatif dengan nomor urut yang panjang, memilih presiden, DPD, dan DPRD kabupaten dalam waktu singkat di TPS yang tidak memiliki fasilitas apa pun. Jika pemilu dipisah, situasi ini mungkin lebih sederhana.

Ketika memilih presiden dan DPR, dan setelah beberapa waktu, pemilih dapat berkonsentrasi pada masalah nasional.
Diharapkan juga bahwa pemisahan pemilu akan meningkatkan akuntabilitas pemimpin. Istilah “masalah lokal” dapat mendapat perhatian yang cukup karena seringkali hilang dari perhatian selama pemilu nasional. Kandidat kepala daerah sekarang bergantung pada tren politik nasional. Dinamika lokal bisa tumbuh sehat sesuai kebutuhan masing-masing daerah.

Tetapi kegembiraan harus diimbangi dengan catatan penting. Sebab, meskipun ada kemungkinan terjadinya perbaikan melalui putusan MK ini, pemisahan pemilu tetap menghadirkan tantangan luar biasa yang tidak dapat dihindari.
Pertama, ada kemungkinan biaya pemilu akan meningkat. Data yang dikumpulkan oleh KPU menunjukkan bahwa anggaran telah dihabiskan dalam triliunan rupiah hanya untuk penyelenggaraan pemilu nasional. Negara harus mengalokasikan uang dua kali lipat jika pilkada serentak diadakan di tahun yang berbeda. Ini dapat menjadi masalah besar bagi beberapa daerah dengan dengan PAD yang kecil.

Kedua, pemilih berisiko mengalami kelelahan pemilihan atau kelelahan demokrasi. Jika warga harus mengunjungi TPS berkali-kali dalam waktu singkat, penurunan tingkat partisipasi pemilih dapat menjadi masalah besar. Legitimasi suara rakyat adalah fondasi utama demokrasi. Apa artinya pemilu terpisah jika partisipasi pemilih menurun?

Ketiga, praktik transaksional sering terlibat dalam pemilu lokal. Politisi lokal yang kaya akan lebih mudah menggunakan uang ketika masalah nasional tidak lagi bergantung pada tingkat daerah. Jika tidak ada kontrol yang ketat, pesta demokrasi bisa berubah menjadi pesta jual beli suara. Jika kapasitas pengawasan dan penindakan Bawaslu tidak ditingkatkan seperti yang selama ini terjadi, maka situasi akan menjadi lebih sulit.

Keempat, sangat sulit untuk menyinkronkan masa jabatan kepala daerah. Masa jabatan harus disesuaikan agar jadwal pilkada dapat dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Dengan demikian, masa jabatan kepala daerah dapat diperpanjang atau dikurangi. Potensi tarik menarik kepentingan di DPR pun tidak kecil. Jika proses transisi tidak diatur dengan jelas, risiko munculnya overlapping wewenang dan kekosongan kepemimpinan bisa terjadi.

Sebaliknya, masyarakat harus diperhatikan bagaimana putusan MK ini dibuat dan dilaksanakan. Meskipun putusan MK diatur dalam UUD 1945, putusan terakhir tidak berarti tidak dapat dikritik. Kepercayaan publik terhadap MK telah tergerus beberapa waktu belakangan karena kontroversi tentang syarat usia kandidat cawapres untuk Pilpres 2024. Banyak orang percaya bahwa integritas hakim konstitusi menjadi titik rapuh yang perlu diperbaiki segera. Finalitas hanyalah formalitas tanpa integritas.

Akibatnya, setelah keputusan ini, pemerintah dan DPR harus segera mengambil tindakan dengan mengubah regulasi khusus. Revisi UU Pemilu harus lebih dari sekedar tambal sulam. Dalam desain baru, harus ada rencana yang jelas tentang hal-hal seperti tanggal pemilu nasional, tanggal pilkada, prosedur transisi jabatan kepala daerah, sinkronisasi data pemilih, dan sistem pendanaan yang akuntabel.
Memikirkan dampak sosial politik di akar rumput juga penting.

Kualitas demokrasi kita tidak diukur dari seberapa sering orang menggunakan TPS; sebaliknya, itu diukur dari seberapa signifikan suara mereka dalam menentukan jalannya pembangunan. Sangat penting bagi partai politik untuk mencurahkan lebih banyak upaya untuk menyiapkan kader yang paling kompeten daripada hanya memilih calon popular, tanpa kualitas dan kapabilitas, yang mengikuti tren nasional. Agar kelelahan massal tidak terjadi lagi, penyelenggara pemilu harus meningkatkan manajemen teknis, memanfaatkan teknologi dengan aman, dan meningkatkan kapasitas petugas.

Untuk terus mengawasi keputusan ini, masyarakat sipil, media, dan akademisi juga sangat penting. Pemisahan pemilu tidak boleh hanya menjadi slogan tanpa tindakan nyata. Detail teknis, jadwal, dan skenario mitigasi masalah harus diketahui publik. Pengawasan publik harus ditingkatkan, termasuk penilaian kinerja Bawaslu, KPU, dan hakim konstitusi sendiri yang selama ini banyak disorot publik.

Di tengah hambatan demokrasi yang semakin kompleks, Indonesia membutuhkan pembaruan tata kelola pemilu yang mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan elit. Jika MK membuat keputusan tentang pemisahan pemilu, maka hal itu bisa membuka jalan untuk perbaikan. Namun, yang paling penting adalah keinginan politik dari kedua belah pihak. Jika desain hanya diubah pada kertas tanpa mengubah perilaku politik, kita hanya akan memindahkan masalah daripada menyelesaikannya.

Pemilu bukan sekadar hajatan publik lima tahunan. Pemilihan adalah cara kita merayakan kedaulatan rakyat, menagih keadilan, dan menata masa depan. Putusan MK harus menjadi pengingat bahwa suara rakyat bukan hanya angka di kertas suara; suara rakyat adalah suara tertinggi. Akhirnya, mari kita bekerja sama untuk memastikan bahwa keputusan ini benar-benar mempromosikan keadilan demokrasi daripada hanya menambah jarak antara rakyat dan mereka yang berkuasa. (red)