Ketika AI Menggeser Nalar : Ruhiologi Hadir Menyelamatkan Kemanusiaan

Berita97 Dilihat

Prof. Iskandar Tawarkan Paradigma Baru untuk Pendidikan dan Peradaban Digital

Rangkumnews.com, Jambi – Di tengah gelombang besar revolusi kecerdasan buatan (AI) yang mampu menulis, menganalisis, bahkan mengambil keputusan lebih cepat dari manusia, dunia justru menyaksikan paradoks eksistensial : manusia menjadi semakin canggih secara teknologi, namun kian tercerabut dari akar kemanusiaan dan ruhaniahnya. Dalam momentum Hari Raya Iduladha—hari pengorbanan dan penyerahan diri tertinggi dalam Islam—Prof. Iskandar, Guru Besar Psikologi Pendidikan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, menyampaikan tawaran gagasan besar: Ruhiologi, pendekatan pendidikan yang menjadikan dimensi ruhani sebagai kompas utama peradaban masa depan.

“Jangan sampai ketika mesin mulai berpikir, manusia justru berhenti melakukannya,” ujar Prof. Iskandar.
Menurutnya, kemajuan AI memang memberikan efisiensi luar biasa, namun juga membawa risiko besar: manusia jadi makin malas berpikir, hilang kemampuan merenung, dan tercerabut dari nilai-nilai spiritualitas yang membentuk jati dirinya.

Kecerdasan Tergerus, Jiwa yang Terlupakan
Di era digital ini, IQ, EQ, bahkan SQ semakin dikendalikan oleh algoritma. “AI bisa menguasai data dan logika, tapi tidak akan pernah memahami makna, kesucian, dan nilai ilahiah,” tegasnya. Akibatnya, muncul generasi yang piawai secara teknis tetapi kehilangan kepekaan nurani.

“Yang perlu ditakuti bukanlah teknologi, tapi hilangnya kesadaran ruhani dalam menggunakannya.”
Di sinilah peran penting Ruhiology Quotient (RQ)—sebuah kecerdasan ruhani terdalam manusia—yang mampu membimbing semua dimensi kecerdasan lainnya agar tetap sejalan dengan kemuliaan hidup.

Ruhiologi: Jawaban untuk Kecemasan Zaman
Ruhiologi, sebagai hasil refleksi akademik dan praktik spiritual Prof. Iskandar selama lebih dari satu dekade, merupakan sintesis dari ilmu, nilai, dan pengalaman ruhani. RQ menjadi poros utama yang menyalakan dan menyinergikan:
• IQ agar tak menjadi licik,
• EQ agar tak manipulatif,
• SQ agar tak hampa,
• AI agar tunduk pada kesadaran ilahiah, bukan kepada hawa nafsu algoritmik.

“Dengan menghidupkan kembali GodLight dalam diri, kecerdasan bukan hanya menjadi terang, tapi juga menyinari kehidupan,” ungkapnya.

Hari Qurban: Simbol Kembali ke Hakikat Manusia
Dalam konteks Hari Raya Qurban, Prof. Iskandar menegaskan bahwa qurban bukan sekadar penyembelihan hewan, tetapi penyembelihan ego, nafsu, dan keterikatan duniawi yang menutupi cahaya ruhani. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail (QS Ash-Shaffat: 102–107) bukan sekadar cerita klasik, melainkan pesan abadi: bahwa kepasrahan kepada Allah adalah puncak kemanusiaan.

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS Ash-Shaffat: 107)
Momentum ini, menurutnya, adalah panggilan untuk menyembelih “Ismail-Ismail modern” dalam diri : keangkuhan teknologi, kehausan akan popularitas digital, dan dominasi akal tanpa ruh.
Ali bin Abi Thalib dan Pendidikan Masa Depan
Prof. Iskandar mengaitkan urgensi pembaruan pendidikan spiritual ini dengan pesan bijak dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib :

“Didiklah anak-anakmu sesuai zamannya, karena mereka diciptakan untuk zaman mereka, bukan untuk zamanmu.”
Baginya, ini adalah petunjuk bahwa pendidikan harus kontekstual dengan zaman digital, namun tetap berakar dalam nilai-nilai transenden.

Sinergi Teknologi dan Ruhiologi: Jalan Menuju Peradaban Berimbang
Alih-alih menolak AI, Prof. Iskandar justru menawarkan integrasi teknologi dengan ruhani. “Jika teknologi adalah mesin, maka ruhani adalah pengemudi. Jika algoritma adalah jalan, maka RQ adalah arah dan tujuan,” tegasnya.
Dengan RQ sebagai pengarah, teknologi bisa :

• Memperluas akses pendidikan bernilai,
• Memperkuat karakter dan ibadah,
• Menjadikan dunia digital sebagai ruang pencerahan, bukan semata hiburan kosong.

Ruhiologi hadir bukan untuk nostalgia spiritual, tetapi sebagai jawaban nyata atas krisis makna di era modern. Hari Qurban mengingatkan kita bahwa nilai tertinggi bukan pada kekuasaan, bukan pada data, bukan pada kecerdasan buatan—tetapi pada ketulusan menyerahkan diri kepada Yang Maha Esa.
Di era ketika algoritma mendominasi, RQ-lah yang menjaga agar manusia tetap manusia. (red)